Verbatim
BAALE: "Gue Cuma Pengen Jadi Jujur"
Oleh : Prabu Pramayougha
Mari mengenal BAALE dan menelisik lebih dalam alasan Iqbaal Ramadhan memulai proyek musik dengan moniker baru ini.
Anjir Dongker bray! seru BAALE alias Iqbaal Ramadhan sambil menunjuk kaos yang saya kenakan ketika memperkenalkan diri untuk mewawancarainya di konferensi pers album perdana proyek musik terbarunya, Fortuna, di Sparks, Jakarta Selatan tanggal 28 Mei lalu.
Kami pun akhirnya berbincang kecil soal ketertarikannya akan Dongker sampai kaos tur Green Day vintage yang ia beli di sebuah unit niaga yang kebetulan juga dikelola oleh seorang kawan di Bandung. Obrolan kami terhenti karena awak media lainnya sudah menghampiri dan duduk melingkar di sebuah meja untuk melangsungkan wawancara bersamanya.
Ya, pada akhirnya skema yang ditentukan oleh penyelenggara konferensi pers kemarin memang seperti itu. Setidaknya di paruh awal pertemuan ini.
"Menurut gua musik hari ini tuh banyak yang depresif banget, bray. Menurut guaaa..." tuturnya ketika membuka obrolan bersama saya dan beberapa rekan media lainnya. Celotehannya disambut dengan wajah semi-heran dari beberapa kawan media yang duduk di sebelah dan di seberang saya.
"Gue kan kerja (di bidang entertainment) dari kecil kan. Jadi (sekarang) ada masanya gue pengen bikin musik ya buat didengerin musiknya aja. Just for the sakes of music." lanjutnya.
Rasanya apa yang ia utarakan itu seakan menjadi sebuah landasan pemikiran yang ia bangun sendiri untuk meyakinkan kami di sana bahwa BAALE adalah proyek musik yang Iqbaal proyeksikan sebagai sebuah katarsis yang ia tempuh untuk menjadi diri sendiri.
Setelah semua orang duduk rapi. Iqbaal pun duduk tersenyum sembari menunggu lontaran pertanyaan dari beberapa kawan media. Karena semuanya masih terdiam, saya pun iseng melontarkan pertanyaan pertama kepadanya.
Bal, waktu lo awal mulai ulik-ulik musik, lo ngalamin download dari situs gratisan enggak?
BAALE: Dulu tuh (situs) itu apa sih yang fotonya mas-mas OB tempat download lagu? Stafa ya? Gue ngalamin sih! Tapi itu piracy, men. Jadi udahlah jangan lagi. Masa-masa itu gue alamin juga kok. Sama halnya kayak remaja-remaja lainnya juga ngalamin pasti sih
Tapi banyak orang kan udah kena ekspektasi sama sosok Iqbaal Ramadhan yang dianggap 'gitu lah. Jadi kayaknya lewat BAALE ini, gue bisa lebih jujur dan apa adanya. Meski dengan entitas BAALE ini pun masih ada anggapan ekspektasi kayak gitu
Setelah Iqbaal menjawab pertanyaan random saya itu, beberapa kawan media lainnya pun akhirnya mengambil giliran. Ada yang bertanya soal keabsahan selera musik Iqbaal untuk proyek BAALE, ada pula yang bertanya seputar impresi Iqbaal yang akhirnya punya band betulan seperti BAALE sekarang. Semua pertanyaan itu dijawab secara antusias dan detail olehnya.
Entahlah. Saya rasa ada siratan tendensi di mana Iqbaal sepertinya ingin sekali meyakinkan bahwa BAALE adalah entitas seutuhnya dari seorang Iqbaal Ramadhan yang kerap kali terlalu sering distereotipkan sebagai figur publik yang terlalu mahsyur dan out-of-reach selama ini. Meski saya tidak pernah merasakan menjadi populer berkat pernah tergabung di sebuah boyband fenomenal dan menjadi bintang film sukses, tapi saya paham akan antusiasme Iqbaal untuk bercerita selentur itu. He got his time served and he just wants to be free, I guess. Walau pastinya akan sulit untuknya lepas dari jeratan masa lalu itu.
Oh iya. Ada satu momen menarik yang terjadi di tengah obrolan itu. Ada satu kawan media yang bertanya kepada Iqbaal soal beberapa tuaian kritik dari warganet soal rilisan dan musikalitas BAALE. Ketika dilontarkan pertanyaan tersebut, saya melihat ekspresi Iqbaal tersenyum sedikit dan menarik nafasnya seakan mempersiapkan energinya untuk mengutarakan opininya yang sudah tersimpan lama dan siap untuk dimuntahkan.
BAALE tuh dibikin buat gue belajar lagi menjadi kecil. Belajar buat jadi debu. Jadi remah rengginang di antara banyaknya musisi keren di Indonesia. Buat bikin gue jadi manusia lagi. Gue percaya banget kalau BAALE itu harus hadir beserta kritik, masukan, saran bahkan hujatan. Gue sangat menerima itu dan gue udah siap dengan konsekuensinya. Kalau memang BAALE dianggap buruk, silahkan kritik gue seluas-luasnya. Dan kalau dianggap bagus, maka tuntun gue buat lebih baik lagi. Karena gue pengen jadi lebih baik," jelas Iqbaal.
Mendengarkan penjelasan darinya yang lumayan serius itu, saya reflek berujar dengan suara pelan, Anjenggg karena lumayan bodor mendengar pernyataan sebegitu serius datang darinya. Tapi sialan, Iqbaal ternyata mendengar ujaran saya dan langsung menggeplak tangan saya sambil berujar Anjenggg pula. Anjuy.
Momen respon pencair suasana itu memberikan entry point baru untuk lontaran pertanyaan baru dari kubu Synchronize Radio yang diwakili oleh Bunzu (penyiar program SKJ):
Bal, apa aja sih band lokal yang lo dengerin dan nemenin lo ketika proses bikin album Fortuna?
BAALE: Anjenggg, band
lokal yah? Rumahsakit, Pure Saturday, Clubeighties, Goodnight Electric, Rock N
Roll Mafia, The Adams, Dewa... aduh banyak banget lagi. Kebanyakan band-band
dari tahun 90-an dan 2000-an awal sih. Gue rasa masa kejayaan musik Indonesia
tuh di era tahun segituan. Kayak, di era itu lo punya Polyester Embassy, lo
punya Goodnight Electric, lo punya Teenage Death Star. Kebayang enggak lo?
(Waktu itu) lo tinggal pick and choose gitu lho!
Menyambung pertanyaan dari Bunzu, entah kenapa pikiran iseng untuk melontarkan pertanyaan di luar kekaryaan dia pun kembali muncul di intuisi saya. Walhasil saya pun bertanya soal album Weezer dan Green Day favoritnya:
Bal, Blue Album atau Pinkerton?
BAALE: Fak. Blue lah! Karena pas gue masih SMP dan lagi cari
identitas gitu, kayak, Musik gue apa ya? Gue di boyband tapi gue suka musik
band nih, album itu yang nemenin gue masa itu
Dookie atau Insomniac?
BAALE: Dookie! Sama
kayak Blue Album lah. Album pertama dari mereka yang nemenin gue pas SMP juga
Nah the ultimate question lah nih, Blur atau
Oasis?
BAALE: Ugh. Oke. Once
and for all. Blur. Tapi dulu gue sempet Oasis banget sampe akhirnya gue rasa, kayaknya
gue lebih Damon (Albarn) sih
Setelah pertanyaan iseng dari saya itu, Iqbaal sempat menjawab beberapa pertanyaan sisa dari kawan-kawan media lainnya sampai sesi itu rampung.
Ketika saya hendak bergegas untuk turut pulang, ternyata saya diberi kesempatan untuk mengobrol lebih lama dengan Iqbaal. Yaaa pastinya tanpa pikir panjang, saya langsung gunakan momen itu untuk bertanya lebih banyak kepadanya haha! Saya pun kembali duduk dan Iqbaal pun kembali ke meja. Perbincangan sesi tambahan pun akhirnya berlangsung.
Kalo sekarang lo lebih sering ngulik musik secara digital atau lo masih sempet digging rilisan fisik?
BAALE: Sebenernya mau
enggak mau sekarang gue lebih banyak ngulik di digital. Karena keterbatasan
waktu dan kesibukan lah. Cuman gue masih cobain balance juga dengan beli
rilisan fisik. Biasanya dengerin dulu di digital, kalau ada yang asik, gue cari
fisiknya. Tapi emang lebih enak rilisan fisik gitu. Kalo digital lo pasti
banyak ke-skip-nya. Rilisan fisik kayak bisa ngasih experience lebih detail aja
gitu
Nah nyambung soal rilisan digital nih, menurut lo penting enggak algoritma dan playlist bikinan DSP buat pengguna atau bahkan musisinya sendiri di masa sekarang?
BAALE: Menurut gue
sangat berpengaruh. Algoritma itu kan dibentuk sama AI lewat kebiasaan
mendengarkan musik kita kan. Jadinya si AI ini bakal kasih rekomendasi musik
yang seragam ;kan. Jadi element of surprise-nya ilang lah. Terus algoritma ini
kayak semacam ngebentuk ;kubu-kubu musik tertentu.
Yaaa sisi baiknya mungkin
orang-orang lebih gampang buat dapetin musik sesuai pengalaman mendengarkannya
Tapi downside-nya,
kayak jadi ada stereotip Lo kan dengerin musik A, enggak mungkin lo dengerin
musik B, gitu
Menarik. Kalau
menurut lo, sepenting apa peran media musik buat ekosistem musik itu sendiri?
BAALE: Penting banget.
Terutama buat generasi yang sulit menentukan opini. Kalau kata om-om gue, dulu
sesimpel kayak lo suka musiknya, lo dengerin. Kalo enggak suka, lo tinggalin.
Bedanya ama sekarang yang gue rasain, dengan banyaknya konten-konten seputar
musik yang pendek dan deras, lo kayak makin susah buat ngebuat opini.
Seenggaknya itu yang gue rasain sebagai generasi Z
Tapi kayaknya sekarang
tuh semua opini seputar musik bisa dibangun lewat beberapa faktor. Misal kayak
aspek viral, siapa yang ngomongin atau ngulas musiknya atau bentuk review-nya
kayak gimana. Jadi buat gue itulah pentingnya peran media musik. Karena
kedekatan musisi dan media itu harus diakui emang penting juga buat ngebentuk
ekosistemnya juga buat ngedukasi temen-temen di luar sana juga lewat komunikasi
soal musik-musiknya
Kalau dulu media musik
aja sepenting itu, gue rasa apalagi di zaman sekarang. Kayak sekarang 'kan ada,
Gue nanti dulu deh liat orang lain. Suka juga sama musiknya atau enggak, atau
kayak gue dengerin ah soalnya (band itu) diomongin sama si om skena itu...
HAHAHA fak. Om skena.
Tapi bener sih. Gue rasa ada faktor KOL juga nih soal selera musik sekarang...
BAALE: Itu real men! Maksud
gue, sekarang tuh ada tendensi kalo lo suka musik tertentu tapi enggak
di-approve sama orang-orang tertentu, lo bisa jadi enggak suka! Akhirnya jadi
kayak gitu. Jadi lo bias!
Ada cerita lucu sih
soal itu. Jadi gue diceritain sama temen nih. Ada orang yang suka sama musiknya
BAALE. Tapi dia enggak suka Iqbaal Ramadhan. Dia suka sama imejnya BAALE juga
Tapi orang lain enggak
boleh ada yang tau kalau dia suka sama BAALE. Bukan karena emang orang lain
enggak boleh tau, tapi katanya karena konon dia anak skena yang mungkin ngerasa
BAALE tuh ;belum nyampe aja. Gue denger itu kayak, 'waaaaw'
Yaudah spill dong
siapa...
BAALE: HAHAHAHA! Tapi
anyway, dengan adanya orang kayak gitu, gue malah ngerasa berarti dia bukan
satu-satunya. Temen-temen yang kayak gitu malah gue harus apresiasi. Jadinya gimana
caranya gue harus bisa komunikasiin BAALE ke mereka. Entah dengan cara
performance gue di panggung. Dengan apa yang gue sampein.
Gue hargain banget
mereka
At the end of the day,
gue menghargai semua temen-temen yang bisa menghargai BAALE. Apa pun bentuknya.
Mau mereka malu atau enggak buat ngaku suka BAALE. Semangat itu yang pengen gue
share. Kalo lo bisa appreciate, gue juga bakal appreciate lo.
