Linimasa
Bin Idris - III: Tetap Berpegang takkan Hilang, Hidup dan Terus Hidup
Oleh : Bismo TriastirtoajiDi cover III, tampak seorang pria duduk di kursi kayu, tubuhnya membungkuk, lelah – terisolasi dalam ruang berdinding toska pucat, dengan lantai merah dan garis hitam horizontal. Sederhana, tapi straight to your face. Figur tunggal yang terisolasi itu adalah sosok Haikal Azizi atau Bin Idris.
Sepuluh tahun sejak rilisan terakhir, Bin Idris kembali dengan 13 lagu yang ia kerjakan mandiri di sela waktu menjadi suami, ayah, dan gerigi dari mesin yang lebih besar untuk bertahan hidup.

"Tadinya gue mau jadi musisi dan seniman di Bandung, terus gue balik ke Depok dan itu kayak ngulang lagi dari awal. Gue juga melihat beberapa temen gue mengejar sesuatu yang dia pengen terus 'qodarullah' nya nggak dapet – yaudah kita start over aja. Balik ke Depok baggage gue udah berbeda lagi. Di Bandung gue sendirian, mau nggak tidur untuk berkarya juga gas aja," terang Bin Idris.
Melambat adalah perlawanan, bukan pelarian. Dari 'Menara', Bin Idris dalam isolasi meraba jarak pandang. Alih-alih nihil, nomor pembuka ini menjelma posko observasi – cara Bin Idris menengok kembali ke dalam diri. "Silence not as an absence, but as a presence. Kurang lebih itu konsep dasarnya. Dulu gue ngerasa, kalau musik gue terlalu sunyi, gue takut orang nangkep gue terlalu surem. Sekarang sih, gue jeblosin aja. Gue pikir, jangan doubting value dari keheningan itu," ungkap Bin Idris.
Runtuhnya 'Menara' melanjutkan langkah Bin Idris 'Kembali Ke Tempat Semula' – menjadi ritus tutup-buku, lembar baru, Depok, Istri dan anaknya Fatih adalah lantai dasar eksistensi yang ia bangun. Semua tumpah ruah dalam 'Merak'. Kelahiran Fatih menjadi monumental, cinta yang primal, yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Jujur, prosesnya nggak se-magical itu, semua lahir dari proses: bangun malam, mandiin dia, melihat dia bertumbuh. Ternyata hati gue bisa menampung cinta sebesar ini untuk seorang makhluk," kisah Bin Idris tentang lagu 'Merak'.
Bin Idris bercerita tentang momen mendengarkan lagu 'Merak' bersama Fatih. "Pas dengerin, dia langsung meluk gue gitu sambil berlinang air mata. Gue terharu dan mudah-mudahan pesannya sampai. Kalau lagu ini, tentang rasa sayang gue ke dia," kenang Bin Idris tersenyum.
Lewat 'Salt Water', Bin Idris menyisipkan janji bertumbuh yang tak sentimental nir-dramatis. Kebahagiaan bukan finish; ia keterampilan ritmis. Membiarkan air membasuh, mengakui beban sampai terasa ringan, menghapus samaran. Imaji tentang pulih lalu dilukis lewat nomor 'Painting of A Hill'. Awan menjadi kafan, sakit ditenun rapi. Bin Idris melukis bukit sembari memikul batu yang membesar. Ia tengah membuat dunia kecil yang siap huni – "boulder… felt lighter as they got older”.

Lantas, kebahagian kecil tumbuh di sela repetisi. Manual mikro yang ia tanam dalam lagu pertama di album III yang ia ciptakan di tahun 2018, 'Benih'. Dalam liriknya, muncul imaji yang realistis, tentang aspirin, mie instan, kopi, macet, juga polusi. "Di posisi itu wajar lo mempertanyakan, apakah lo hidup cuman jadi gerigi-gerigi doang?" terang Bin Idris. Namun, Bin Idris tentu menyadari betul, kita perlu belajar menumbuhkan benih di bawah terik dan sesak. Bahwa kecepatan memang hadir perlahan.
Pada momen itu, Bin Idris menengok ke belakang dalam arsip 'Nostalgia', mengikat yang sekarang dan lampau. Pil pahit atas usia, relevansi, dan kalah hadir semakin pekat dalam 'Heartache (Shall Not Survive)'. Meski berangkat dari curhat musisi yang menua, nomor ini menjadi refleksi universal tentang waktu yang tak segan menggiling setiap orang.
"Akhirnya lo harus accept aja sih kalau pada akhirnya lo emang akan nggak relevan. Semua orang pasti mengalami itu, semua pasti kebagian perasaan itu. Tinggal gimana lo accept-nya," jelas Bin Idris.

Pada liriknya, Bin Idris menyelipkan humor getir: “if it’s too loud… maybe you’re too old”; tubuh menua, standar bergeser – waktu mengubah. Pada akhirnya, menerima dan melepaskan adalah keterampilan, bukan insting – years of practice to let things go.
"Banyak kegagalan dalam hidup gue, tapi hidup ya bertahan aja, itu niscaya. Gue nggak mau jawab gimana caranya, kesannya gue udah menyelesaikan pertanyaan itu. Tapi di gue, berkarya mungkin bisa jadi painkillernya untuk ngambil jeda dari kehidupan ini," ungkap Bin Idris tentang nomor ke-9, 'To Endure'.
Mitos Sisyphus memang bukan tentang optimisme polos, alih-alih adalah komitmen harian untuk terus merakit diri. Bin Idris menulis, "What would it takes to be happy? What would it takes to be free?”.
All is lost moment – 'Dalam Gelap' dan 'To Mend' adalah biaya retribusi. Memahami bahwa: “all will come to an end” adalah niscaya. Justru, karena tau semuanya akan berakhir Bin Idris percaya, doa-doa kelak menambal yang dedel. Sementara 'An Island' menjadi final push, praktik amor fati, mengapung "through this water I could see". Kejernihan datang setelah menyerah pada daya apung, menjadi eureka di tengah isolasi.

Akhirnya, Bin Idris telah menamai semua kondisi; cemas, gusar, sesal, memar, luka, rumah yang berduka, tubuh yang lelah, jiwa yang kalah, sampai jatuh di tepi jurang. Meski begitu, ia tetap berpegang takkan hilang, hidup dan terus hidup dalam nomor 'Abadi'.
Album III lahir dari sunyi dan jeda-jeda kecil yang sederhana. Residu yang, alih-alih dibuang, justru menjadi bukti bahwa dirinya ada. Ia mungkin cemas apakah musiknya masih punya tempat di telinga generasi saat ini, namun resah itu tak melumpuhkannya.
Bin Idris memaknai 10 tahun yang sunyi untuk bernapas. III menjadi bukti bahwa melambat adalah pula melawan, dan diam sama pentingnya dengan bunyi. Bahwa bertahan pun cukup untuk hidup dan terus hidup adalah niscaya.